PARAMA ISWARI Mahasakti Keraton Yogyakarta
Perempuan telah dicatat dalam sejarah dan sastra peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Zoetmulder mengistilahkan perempuan sebagai sakti (daya aktif) para dewa yang personifikasinya diwujudkan sebagai istri (Zoetmulder, 2011, 986). Pekik tersebut didukung dalam penggambarannya dalam kitab Manu Smrti, yang menyebut bahwa perempuan adalah pelita rumah tangga yang memenuhi dharma ksatria (Wahjono, 2004, 80). Pada beberapa sumber sastra, perempuan adiluhung paling diingat oleh masyarakat Jawa adalah Srikandi. Tokohnya kerap menjadi alegori dari upaya pembentukan identitas ideal dari perempuan, dan diadaptasi dari masa ke masa.
Pada awal abad XIX, predikat srikandi disandang oleh Raden Ayu Djajaningrat dan para prajurit perempuan dari Keraton Yogyakarta. Peter Carey menganalogikan prajurit perempuan ini sebagai srikandi kedaton yang mengelilingi Sultan di Prabayeksa saat runtuhnya tatanan Yogyakarta oleh Inggris. Para perempuan ini jauh lebih bernyali di antara para Pangeran yang menyelinap keluar keraton untuk mencari selamat dengan berlari ke desa-desa terdekat (Carey, 2011, 389–390). Babad Bedhahing Ngayogyakarta menjadi akta sejarah yang menampar jenama ‘perkasa’ laki-laki Jawa. Di titik tersebut, perempuan mampu mensubtitusi maskulinitas laki-laki hingga kedudukannya dalam pemikiran Jawa berubah pasca Perang Jawa (1825-1830).
Paruh abad ke-19, perempuan Jawa berada dalam bayang-bayang kolonial. Mereka digolongkan sebagai subaltern (golongan marginal yang berkedudukan rendah). Disebutkan bahwa kaum perempuan dalam pelbagai konteks kolonial tidak memiliki bahasa konseptual untuk berbicara, karena tidak ada telinga dari kaum laki-laki kolonial maupun pribumi untuk mendengarkannya. Ini bukan berarti bahwa perempuan tidak bisa berkomunikasi secara literal, tetapi tidak ada posisi subjek dalam wacana kolonialisme yang memungkinkan kaum perempuan untuk mengartikulasikan diri sebagai pribadi. Mereka ditakdirkan untuk diam.
Beberapa narasi tandingan kemudian lahir untuk membantah takdir perempuan sebagai golongan subaltern. Simone de Beauvoir dalam the second sex turut menggagas konstruksi pemikiran bahwa perempuan bukanlah realitas yang ajeg, melainkan suatu yang ‘menjadi’ sehingga secara terus-menerus perlu didefinisi. Proses pendefinisian berhubungan dengan beberapa faktor dan variabel.
Kondisi yang meringkus perempuan dalam proses penyusunan sejarah lokal lantas menjadi wujud dari gerakan perlawanan yang naik-turun, tidak menentu dan tergantung pada siapa yang mendefinisikannya. Berangkat dengan pemikiran domestik tentang perempuan ‘domestikasi gender’, Keraton Yogyakarta menggelar pameran akhir tahun dengan tajuk Parama Iswari, Mahasakti Keraton Yogyakarta. Pameran tersebut menjadi tawaran atas renaisans perempuan untuk mendefinisikan kembali ‘keperempuanannya’ berdasarkan peran dan kapasitas.
Menurut Nyi R. Ry. Noorsundari, selaku Pimpinan Produksi Pameran Paramaiswari, pameran ini bercerita tentang peran perempuan di Kraton Yogyakarta dari masa HB 1 sampai dengan saat ini. Adapun koleksi yang ditampilkan adalah yang berhubungan dengan perempuan, baik busana, perhiasan, manuskrip juga arsip catatan keuangan. “Pada pameran ini juga terdapat kegiatan pendukung seperti workshop dan public lecture yang dimaksud untuk diskusi dan edukasi ke masyarakat kedudukan dan peran wanita dalam berbagai tahap kehidupan.Parama Iswari utamanya perempuan utama, bahwa sebenarnya perempuan juga berperan dalam kelangsungan hidup bangsa,” ujarnya. Mahasakti Kraton Yogyakarta, melihat peran perempuan sebagai pendamping dan pendukung utama pria demi keseimbangan kehidupan, dan persepsi yang jujur tentang kekuatan perempuan.
Fajar Wijanarko atau Mas Jajar (MJ) Pradanareja Guritno selaku Kurator Pameran Paramaiswari menambahkan, Parameswari [parama-iswari]: dalam kamus bahasa Jawa berarti langkung luhuring pawestri atau lebih dari perempuan utama. “Parameswari sebuah term yang disematkan pada perempuan utama dalam tatanan kerajaan Jawa. Istilah tersebut telah digunakan sejak abad ke-9 dan dipelihara dalam memori kolektif budaya Nusantara sampai abad ke-21. Kedudukan parameswari dan ketokohan perempuan yang melekat acapkali berafinitas sebagai sakti,” jelasnya.
Jenama yang mengikat pada raja sekaligus kuasa yang melampaui kadarnya. Berangkat dari pendekatan kronologi, narasi parameswari sebagai perempuan yang melintasi sejarah dirangkap dalam satu situasi budaya. Impresi dari kiprah prameswari yang dikumpulkan dan dipadu dalam satu ruang pamer membawa intensi agar perempuan mampu membangun definisi ulang tentang keberadaannya secara adaptif. “Konteks perempuan sebagai bagian dari militer, pemrakarsa budaya, hingga aktivis sosial terus berubah dan menjelma sesuai
relevansi hari ini,” tambahnya.
Keraton Yogyakarta mencatat gender parameswari sebagai perempuan utama bukan hanya pada dikotomi perempuan di ruang privat. Raden Ayu Kadipaten adalah parameswari dari Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga panglima perang prajurit Langenkusumo. Kiprahnya dalam dunia militer patut diperhitungkan. Dia dicatat sebagai guru sekaligus nenek dari Pangeran Diponegoro yang kemudian hari mengibarkan Perang Jawa (1825-1830). Catatan lain tentang ketokohan parameswari sebagai perempuan yang berdaulat dimiliki oleh setiap Sultan yang bertakhta.
Raden Ayu Andayaningrat, seorang diplomat ulung yang menjadi negosiator dari kembalinya Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan di Saparua. Periode yang paling kentara adalah kehadiran GKR Kencana, permaisuri dari Sultan Hamengku Buwono VII yang memiliki daya matematis yang ulung, Ia adalah perempuan yang mengatur keuangan di Keraton Yogyakarta. “Dari data kronologis yang dikumpulkan, akhirnya, Keraton Yogyakarta tidak secara khusus mengonstruksi dialog perlawanan terhadap dogma feminis yang sebenarnya belum selesai dipahami. Ihwal yang ditangkap cenderung berpusat pada data sejarah sebagai jalan untuk menyelami aksi-reaksi seorang parameswari sebagai perempuan,” tutup MJ. Pradanareja Guritno.
Penyelenggaraan Pameran
Pameran
diselenggarakan oleh Kawedanan Radya Kartiyasa, Keraton Yogyakarta pada:
-
Pembukaan Pameran
-
Lokasi Pembukaan
-
Lokasi Pameran
-
Durasi Pameran
-
Waktu Kunjungan
: Sabtu, 5 Oktober 2024
: Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran,
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
: Kagungan Dalem Kedhaton, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
: 6 Oktober 2024 – 26 Januari 2025 : 08.30 – 14.30 WIB
Di sisi lain, pembukaan pameran akan didukung dengan Pertunjukan Wayang Wong yang dipersembahkan oleh Kawedanan Kridhamardawa, Keraton Yogyakarta pada:
-
Pertunjukan Pembukaan
-
Lokasi Pertunjukan
-
Waktu Pelaksanaan
4. Pukul
Kegiatan Pendukung
: Wayang Wong Darmadewa Darmadewi
: Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran,
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
: 1 Oktober, 2 Oktober, 4 Oktober, dan 5 Oktober 2024 : 19.00 WIB – selesai
Penyelenggaraan pameran didukung dengan program publik yang terdiri dari beberapa kegiatan yang dapat diikuti oleh masyarakat umum, di antaranya:
-
Tur Kuratorial
-
Kuliah Umum Terbatas
-
Lokakarya Tata Rias
Kami juga mengharap kehadiran rekan-rekan media untuk meliput rangkaian acara ini dengan mengisi link berikut :
https://drive.google.com/drive/folders/1tPIK5O00dS5nJcWTAS5vZlTvNzmUhbMY?usp=sharing
Media visit : Sabtu, 5 Oktober 2024, 14.00 WIB, Registrasi : Kgd Keben Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Narahubung :
Kawedanan Tandha Yekti
The Palace Official Bureau of Information and Media tandhayekti@kratonjogja.id
Instagram: @kratonjogja.event @kratonjogja Tiktok: @kratonjogja.id
Facebook, Youtube: Kraton Jogja
Website: kratonjogja.id